Senin, 20 Juni 2011

PENDIDIKAN DI AFRIKA TENGAH: PENCARIAN IDENTITAS NASIONAL

      I.            Perkembangan Sejarah
A.    Tradisi Pribumi
Usaha untuk memahami karakter suku bangsa afrika adalah menemukan karakteristik penting dalam kehidupan dan kebudayaan sebelum kedatangan bangsa eropa. Secara historis, unit dasar social dan ekonomi dalam masyarakat Afrika adalah keluarga. Konsep keluarga di Afrika dan Asia sering tak hanya mencakup keluarga dekat tetapi juga sejumlah saudara jauh.
Selain pengaruh keluarga pada nilai-nilai, kepemimpinan, dan tanggung jawab individu, pola keluarga dan kekerabatan memainkan peran yang sangat penting pada system politik di Afrika. Kepemimpinan dan pengambilan keputusan dalam susunan pemerintahan di afrika dijabarkan sebagai berikut :
Kepemimpinan dan semacam martabat, tetapi bukan kewenangan, dianugrahkan khusus kepada seorang pemimpin dan dewan yang beranggotakan para sesepuh atau kepala-kepala keluarga. Beberapa di antaranya barangkali memiliki tugas setengah-khusus untuk memimpin perburuan atau ritual khusus. Pemimpin tersebut, walaupun tidak turun temurun, hanyalah primus inter pares (pemimpin sekelompok orang dengan kedudukan setara). Ia maupun pemimpin lainnya tidak punya kewenangan atau hak untuk memaksakan kepatuhan. Ia hanya bisa mengajak atau menasihati.
Pada masyarakat tertentu, melenyapkan peran tradisional  kepala suku sama artinya dengan merusak seluruh cara hidup mereka. Namun, upaya pemanfaatan kepala suku guna menjembatani jurang pemisah di antara pemerintah colonial dengan masyarakat terkadang malah menggagalkan tujuan-tujuan pemerintah colonial. Lagipula, dengan datangnya kemerdekaan dan perubahan struktur kekuasaan modern, elite Afrika baru memandang masyarakat yang berpusat pada pemimpin suku sebagai suatu kesalahan zaman yang menggelikan.
B.     Nilai-nilai sebelum kedatangan bangsa Eropa
Menggeneralisasikan pandangan umum masyarakat Afrika memang tidak mudah. Ketiadaan tradisi rasional ilmiah, kurangnya pengetahuan specialis dan teknis sering mengaburkan perbedaan antara peristiwa alam dengan peristiwa gaib. Bagi masyarakat tradisional, kematian, penyakit, gagal tidaknya panen, fertilitas  manusia, dan sebagainya merupakan hasil perbuatan makhluk gaib. Dari sudut pandang mereka, penjelasan bahwa kemarahan arwah leluhur atau suatu makhluk gaib menyebabkan penyakit atau kemalangan, jelas lebih logis daripada teori bangsa eropa tentang kuman.
Jenis kepercayaan yang dianut masyarakat dikategorikan menjadi: arwah leluhur dan arwah bukan leluhur; sihir, guna-guna dan ilmu sihir; dan agama pendatang (nasrani dan islam). Maka bagi kebanyakan masyarakat afrika, hubungan antara yang mati dan yang hidup tidaklah berbeda dengan hubungan diantara manusia yang masih hidup.
Mengenai dua agama pendatang, yaitu islam dan nasrani, keduanya aktif disebarkan oleh kelompok-kelompok dakwah dan sama-sama memiliki jumlah pengikut yang besar.
Hubungan erat antara manusia dengan arwah nenek moyang, banyaknya roh yang berperan dalam hubungan manusia dan mendukung kedekatan hubungan manusia dengan alam, serta tradisi pendeta dan orang pintar lainnya untuk menafsirkan dan menuruti kehendak makhluk gaib, telah menyumbang peran dalam menjaga masyarakat agar tetap stabil, namun statis.
 Dalam masyarakat yang keputusan-keputusan politiknya tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan religious, tradisi dan aturan-aturan hidup, pekerjaan, dan agama sangat tergantung satu sama lain, warga bagaikan tahanan yang tersembunyi dari gerak perubahan.
 Dalam kondisi seperti ini, kekuatan pemecah belah dari ideology dan teknologi Eropa menjadi nyata. Namun, yang tidak begitu jelas Nampak adalah dimana dunia lama dan dunia baru ini dapat diterima dan bagaimana bentuk perpaduan yang bermakna di antara keduanya.
C.    Pengelompokan Etnis dan Ras
Menurut klasifikasi Kimble, kelompok ras utama yang ada di afrika tropis adalah bangsa negro, negro bantu, dan hamite. Jumlah sukubangsa-sukubangsa ini dijadikan satu hanya merupakan beberapa juta saja dari seluruh populasi.
D.    Bahasa
Seperti pada pengelompokan etnis dan ras, kesulitan juga dijumpaidalam mengklasifikasikan bahasa-bahasa Afrika. Walaupun ada banyak sekali bahasa, tampak pula beberapa kesamaan dalam struktur, dan dapat ditemukan banyak cirri umum semantik dan idiom. Beberapa bahasa afrika dituturkan oleh jutaan orang, yang lain hanya dipakai ratusan orang.
 Bahasa yang lebih banyak digunakan antara lain bahasa Hausa di Nigeria dan daerah-daerah lain di Afrika Barat, bahasa Swahili di Tanganyika, Kenya, dan daerah lain di Afrika Timur dan Kongo, bahasa Nyanja, Mdepele dan Shona di federasi Rhodesia dan Nyasaland, serta bahasa Lingala di Kongo. Kebanyakan bahasa di afrika tropis tidak mempunyai bahasa tulis sampai datangnya misionaris Kristen dari Eropa. Pengecualian penting pada bahasa Swahili yang memiliki banyak sekali kesusasteraan.
E.     Pendidikan Pribumi
Pendidikan di Afrika menjadi urusan keluarga dan suku. Anak perempuan belajar dari Ibunya. Dan anak laki-laki belajar dari Ayahnya. Anak perempuan belajar hidup bersih, berbusana yang baik, memasak, mengasuh adik-adiknya, menimba air dan lain-lain. Anak laki-laki belajar berburu, menangkap ikan,menggunakan ketrampilan tangan dan melaksanakan tugas-tugas seorang suami. Anak-anak Afrika wajib mengetahui manfaat dan bahaya yang ada di padang rumput, sungai dan hutan. Sifat kegunaan tumbuh-tumbuhan, buah, serangga, binatang melata, dan hewan-hewan kecil.
Karena komunitasnya meliputi manusia yang hidup maupun yang sudah mati, anak tak hanya harus belajar logat bicara, tradisi, hokum, dan larangan-larangan masyarakatnya, tetapi juga harus belajar tugas ritual dan cara berhubungan dengan arwah leluhurnya.
Konflik yang mungkin timbul di antara pendidikan informal ini dengan pendidikan yang berpusat di sekolah menjadi semakin nyata. Pendidikan formal di sekolah bisa berarti patokan nilai-nilai baru yang mengarah pada pengabaian cara-cara lama, daya tarik kehidupan urban, dan menunda pernikahan. Meningkatnya kemandirian gadis-gadis dari segi ekonomi dan social bertentangan dengan peran-peran tradisional yang membatasi.

   II.            Kolonisasi
Ada empat periode utama hubungan dengan Eropa yang dapat diidentifikasikan. Pertama adalah periode 1600 - 1850 yaitu masa penjelajahan bangsa eropa di daerah pesisir Afrika dan berkembangnya jual beli budak dalam skala besar. Kedua, 1850 – 1945 Afrika tropis dibagi-bagi menjadi daerah-daerah jajahan untuk Negara-negara besar Eropa. Penyelidikan di daerah pedalaman menyusul. Periode ketiga, 1900 – 1945 bisa disaksikan berkembangnya politik colonial lebih lanjut, awal mula gerakan untuk mengembangkan sumber daya alam benua tersebut, serta pengakuan pentingnya sumber daya itu bagi pasar dunia. Periode keempat, yaitu pasca perang dunia kedua, dicirikan dengan tumbuhnya nasionalisme dan kemerdekaan public. Adapun Negara-negara yang mempunyai pengaruh penting di Afrika adalah Inggris,  Prancis, dan Belgia.

III.            Pembangunan Sosial dan Ekonomi di Afrika
Sampai beberapa dasawarsa terakhir hanya sedikit mata pencaharian untuk masyarakat afrika. Seorang afrika bisa menjadi pengumpul bahan pangan (pemburu,nelayan,atau pengumpul buah-buahan) yang kondisi tanah dan curah hujannya cocok untuk itu.
Ekonomi barter dan pas-pasan hanya cukup untuk menyambung hidup, masih umum terjadi di daerah afrika tropis. Namun perputaran uang akibat pengaruh eropa sudah mendorong suburnya ekonomi uang dan meningkatkan jangkauan aktivitas yang menghasilkan uang.
Namun masih banyak orang afrika yang masih megandalkan kehidupannya pada tanah sebagai sumber kehidupan. Maka, persoalan ekonomi paling mendesak yang akan berlanjut untuk sementara waktu adalah pada kemampuan rakyat afrika untuk memperjuangkan hidupnya dengan susah payah hanya dengan mengandalkan tanah.
Banyak hal yang menjadi persoalan bagi petani dan penduduk desa. Orang afrika sendiri menunjukkan kelemahan maupun kekuatan dalam situasi ekonomi tersebut. Kebodohan, kemiskinan dan kekhawatiran mereka menghalangi perubahan yang mungkin menghasilkan peningkatan produktivitas, pemasaran yang lebih baik, dan sebagainya. Di masa lalu , sumber nafkahnya sangat tergantung pada pemahamannya akan kondisi tempat ia bekerja. Di masa depan, realisasi cita-citanya yang akan ditentukan oleh kemampuannya dalam menambah wawasan dan keahliannya.
Dalam laporan komisi untuk ijazah Pascasekolah dan Pendidikan Tinggi di Nigeria,  misalnya, ditemukan ulasan sebagai berikut:
Investasi untuk perbaikan pertanian dan pendidikan pertanian bisa melipatgandakan kemakmuran Nigeria. Namun, investasi untuk pertanian belum mencukupi dan jarang mendapat sorotan public. Publisitas hanya diarahkan pada industrialisasi, konstruksi, dan sebagainya.
Dalam laporan ini, pakar pertanian dianggap sebagai salah satu kebutuhan sumber daya manusia unggulan yang paling mendesak. Laporan ini diteruskan dengan menyarankan pengadaan lebih banyak sekolah pertanian di tingkat menengah dan perguruan tinggi, lebih banyak penelitian di tingkat sarjana, dan juga lebih banyak program yang fleksible sehingga petani-petani muda dapat mengikuti “proses peningkatan”.
Yang dilakukan prancis adalah mengadakan pusat magang dan college teknik pertanian yang menawarkan kursus untuk mencapai standar lycee premier cycle. Serangkaian pusat karya ekstensi pertanian yang didirikan di Kongo juga memimpin program-program pelatihan yang sudah ada.  Baru-baru ini University of Lovanium membuka pendidikan pertanian lanjutan. Walau semakin lama semakin banyak yang tersedia, pendidikan pertanian tetap kurang diminati , kaum muda Afrika jauh lebih menyukai pendidikan administrative, profesi atau teknik.

IV.            Kesempatan Untuk mendapatkan Pendidikan
Dalam Negara Afrika Tropis, lainnya dan Uganda, sudah diutarakan bahwa murid yang tersisih hanyalah murid yang bodoh, sedangkan semua siswa yang pandai dapat melanjutkan ke sekolah menengah. Jika benar, maka sampai saat itu dapat disimpulkan salah satu dari dua pernyataan berikut : 1. Kurangnya pendidikan atau kebudayaan menyebabkan anak-anak afrika tidak siap untuk melanjutkan ke pendidikan menengah atau perguruan tinggi, atau 2. Kecerdasan anak afrika di bawah anak eropa. Karena bukti-bukti
Ada empat kelemahan mendasar pada pendidikan tinggi di afrika yang dapat diidentifikasikan, yaitu :
1.    Kurangnya penekanan pada studi-studi tentang afrika
2.    Kurangnya perhatian pada pendidikan wanita
3.    Kurangnya pemanfaatan peralatan dan sumber daya universitas
4.    Mahasiswa terkonsentrasi pada ilmu-ilmu budaya.
Masalah umum kebanyakan Negara belum berkembang adalah membludaknya jumlah mahasiswa hukum. Kenyataan yang juga mencolok adalah sedikitnya jumlah mahasiswa yang belajar pertanian, dibandingkan dengan pertimbangan betapa pentingnya bidang studi ini.

   V.            Inovasi dan Eksperimentasi Pendidikan
Pakar-pakar pendidikan di afrika menyatakan tujuan utama pendidikan ada 2, pertama: melalui proses penciptaan atau peminjaman dan pengadaptasian, harus dikembangkan pola baru pendidikan yang konsisten dengan tujuan-tujuan ekonomi yang ambisius. Kedua, muatan pendidikan, perilaku, nilai, dan tujuan moral harus diarahkan kembali sesuai dengan  segi-segi cultural dan social yang sudah umum bagi Negara-negara Afrika.
Berdasarkan dua garis besar ini, ada tiga bidang yang diprioritaskan para pendidik afrika dan penasihat internasional di konferensi yang disponsori oleh UNESCO pada 1961: pendidikan menengah(perluasan kurang dan belum ditujukan untuk memenuhi kebutuhan Sumber Daya Manusia ), pembaharuan kurikulum (pendidikan teknok dan pertanian), dan pendidikan keguruan (persediaan guru yang kurang memadai).
Beberapa eksperimen yang telah dilakukan adalah: Pertama mencoba mempercepat penyampaian gagasan di antara segmen populasi yang bersekolah dengan yang tidak bersekolah. Kedua, meliputi upaya regional dan internasional dalam memenuhi kebutuhan sumber daya manusia. Ketiga, mengidentifikasi dan mengevaluasi pencapaian budaya Afrika guna memajukan revitalisasi kebudayaan.
Program 1 : ekstensi college, pendidikan ini ditujukan untuk memberikan pendidikan umum bagi orang-orang dewasa yang berminat. Pendidikan yang ditawarkan meliputi sejarah Afrika, kesusasteraan Inggris, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan daerah, dan konstitusi Inggris.
Peran luas yang diharapkan dari college dan universitas Afrika kontemporer dapat dilihat pada laporan konferensi tentang Pengembangan pendidikan tinggi di Afrika yang digelar di Tannarive, Republik Malagasy, September 1962. Selain fungsi tradisional seperti pengajaran dan memajukan ilmu pengetahuan, institusi-institusi pendidikan tinggi Afrika diharapkan:
1.      Mempertahankan ketaatan dan kesetiaan pada standar akademik dunia.
2.      Menjamin persatuan Afrika.
3.      Mendorong penerangan dan apresiasi terhadap warisan dan kebudayaan Afrika, serta menghilangkan konsepsi-konsepsi yang keliru tentang afrika, lewat penelitian dan pengajaran studi-studi tentang Afrika
4.      Mengembangkan secara utuh sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia
5.      Melatih “manusia seutuhnya” demi pembinaan bangsa
6.      Mengembangkan selama bertahun-tahun pola sejati pendidikan tinggi Afrika yang didedikasikan bagi Afrika dan rakyatnya, sambil memajukan ikatan kekerabatan sampai masyarakat manusia yang lebih besar.
Sementara kebanyakan Negara afrika dengan beberapa modifikasi melanjutkan pola pendidikan tinggi yang sebagian besar sudah dikenal pola Negara colonial, suatu perhatian diarahkan pada universitas-universitas di belahan dunia lain, seperti universitas dana bantuan tanah di Amerika.
Pengaruh pendidikan tinggi di Amerika kemungkinan besar semakin bertambah seiring dengan meningkatnya kontak pendidikan antara afrika dengan Amerika Serikat; sampai saat itu, segala pola pendidikan tinggi yang sedang berlangsung di Afrika sudah dipastikan memiliki komposisi yang berbeda-beda.
Namun, di luar perubahan muatan program sekolah yang sebenarnya, pencarian identitas tersebut memiliki implikasi-implikasi. Studi kebudayaan Afrika dapat mengungkapkan landasan ideologis untuk Pan-Afrikanisme yang landasan itu sendiri akan memberikan stimulus emosional menuju perencanaan kooperatif dan pembangunan yang pesat.
Namun, lebih dari itu, rakyat Afrika harus mampu mengukur diri sendiri –khususnya nilai-nilai kekeluargaan dan keduniawian mereka – terhadap syarat-syarat social modernisasi. Hanya apabila cara hidup baru dan pemikiran baru sudah dapat ditetapkan, maka barulah tujuan-tujuan pendidikan dapat dirumuskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar